Si Hiu Malang
Hari Sabtu
di salah satu sudut kota Jakarta Selatan. Dengan kelopak mata yang masih ingin
merapat kulihat jam tanganku menunjukan pukul 08.05. Pada hari libur kusering
tidur lagi setelah shalat subuh sampai sinar matahari terlihat menembus kaca
jendela. Terdengar sayup-sayup suara seseorang yang sedang memasak di luar
kamarku yang tak lain adalah dapur umum rumah sewaan tempatku dan kawan-kawan
tinggal. Akhirnya kusadar ternyata hari ini adalah jadwal piket memasak giliran
kamarku. Dan yang memasak di dapur adalah Syahari yang sudah kelaparan menunggu
kami yang tak kunjung menghidangakan masakan. Rumah yang kami tinggali memiliki
tiga buah kamar yang masing-masing dihuni oleh tiga orang. Dan atas kesepakatan
bersama kami membagi kelompok piket berdasarkan kamarnya. Dan giliran kamarku
adalah hari Kamis dan hari Sabtu.
Ismail,
teman sekamarku, manusia asal Bangka Belitung itu pun menyuruhku bangkit dan
mengajakku pergi ke Pasar Minggu untuk belanja bahan makanan untuk hari itu. Aku
pun bergegas ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Sebelum berangkat kami
sempat berbincang-bincang soal apa yang akan kami beli untuk menu masakan. Aqil
pun angkat suara, teman sekamarku juga, manusia asal Jawa Tengah itu memberi
opsi daging ayam, dengan catatan dia tak mau urus soal masak-memasaknya. Huh,
dasar anak baru. Akhirnya Aku langsung bergegas menyalakan sepeda motor.
Kunyalakan dan kutarik gas beberapa kali sebagai pemanasan dan tak lama Aku dan
Ismail pun meluncur menuju Pasar Minggu.
Kumasih
mengayuh sepeda motorku, eh, maksudku menarik gas sepeda motorku dengan
kecepatan sedang 40-50 km/jam karena semakin dekat dengan pasar, lalu lintas
pun makin tak karuan. Hamparan-hamparan sayuran beralaskan terpal berbanjar di
pinggir-pinggir jalan, sepeda motor, angkot, metromini seakan antri BLT,hehe.
Kuterus melaju pelan dan kunyalakan lampu sen kiri dan kumemasuki parkiran
sebuah toko pakaian swalayan yang katanya milik orang India. Kuparkir motor.
Kukaitkan tali helmku ke dalam lipatan jok motor. Kukunci kemudi. Dan berbunyi
‘ Klik’
.
Kami
langsung berjalan ke arah pasar tradisionalnya. Berjalan mengikuti jajaran
penjual sayuran yang berjajar dengan hamparan-hamparan dagangannya. Sambil
berbincang tentang apa yang akan kami beli sebenarnya. Ku memberi usul jangan
ayam karena yang lebih mudah memasaknya adalah ikan dan ternyata Ismail pun
setuju. Kami berjalan lurus dan kemudian mengikuti belokan ke kiri dan kami
mengambil arah kanan lagi menyeberangi beton pembatas jalan menuju blok penjual
daging dan ikan.
Ketika
masuk ke dalam pasar tradisional itu Aku merasakan suasana yang berbeda.
Seperti pasar tradisional pada umumnya, bau amis ikan dan daging potong
bercampur dengan bau air yang tergenang di sekitar pasar tersebut membuatku
berkali-kali menutup hidung. Ismail sepertinya biasa saja. Dia memang sering
berkunjung ke pasar tersebut. Lagi-lagi kami bingung. Ikan apa yang akan kami beli?. Terlalu banyak jenis ikan disini.
Kami terus berjalan sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Memilih ikan apa yang
sekiranya pas.
Ketika
kami masih berjalan, Aku tiba-tiba kaget melihat sesosok makhluk yang
sepertinya Aku sering melihatnya di Discovery Channel. Sesosok buas yang
selalu menjadi momok menakutkan bagi para penyelam. Giginya tajam berbaris tak
beraturan. Ikan pemangsa yang sadis. Tahukah kau kawan, ikan apakah itu?. Aku
berhenti sejenak dan menepuk pundak Ismail yang mana dia adalah seorang nelayan
ulung yang mengenal hampir semua jenis ikan seraya bertanya:
“Bro, ini
ikan apa?” tanyaku sambil mengarahkan telunjuk ke arah ikan tersebut.
“itu ikan Hiu”jawabnya
singkat.
Aku tiba-tiba tertawa kecil. Tertanya
dugaanku benar, itu adalah ikan terganas di dunia.
“kasian banget, pemangsa kok
dimangsa..hehehe”.
Sepertinya
ini kali pertamaku melihat ikan hiu langsung dengan mata kepala sendiri. Meski
kumelihatnya dalam keadaan yang menyedihkan, terkapar bertumpuk-tumpuk, di atas
nampan berwarna merah berdampingan dengan
nampan hijau yang berisi tumpukan udang dan dengan nampan-nampan yang
lain dengan masing-masing jenis ikannya. Sungguh perlakuan yang tak berprikehiuan.
Wibawanya yang besar di samudera ternyata harus hilang di atas nampan merah
itu.
Kami terus
berjalan dan akhirnya kami memutuskan untuk membeli ikan cumi saja. Kami pun
langsung bergegas berjalan keluar dari pasar bau amis itu. Ketika kumelintasi
pedagang yang menjual ikan hiu tadi, kusempatkan untuk mengambil satu jepretan
dengan kamera telepon selularku. Dalam perjalanan pulang kumasih ingat ikan hiu
itu. Alangkah malangnya dia. Dan kuteringat perkataan seorang guru, bahwa
makhluk paling buas di dunia bukanlah beruang, harimau, singa, ikan paus atau
hiu, akan tetapi makhluk terbuas di muka bumi ini tak lain adalah manusia,
yaitu ‘kita’.