Umat Islam Saat Ini, Pantaskah untuk Maju?
“Agama islam adalah agama yang abadi, rasional bagi semua bangsa dan tiap generasi, kapanpun dan di manapun”.
Itulah kurang lebih terjemahan bebas dari definisi agama Islam yang
saya ingat dalam sebuah buku diktat berbahasa Arab ketika saya duduk di
kelas III TMI (Tarbiyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah) di sebuah
pesantren atau setingkat III SMP pada sekolah umum. Mungkin masih banyak
pengertian lain dari agama Islam selain seperti yang di atas, tapi dari
definisi singkat tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa agama Islam
adalah agama yang selalu ada dan fleksibel tanpa dibatasi kelompok,
ruang atau waktu tertentu. Kita mungkin sudah membaca tentang sejarah
Islam pada zaman dahulu yang gemilang, katakanlah pada zaman
kekhalifahan Abbasiyah misalnya, ketika Harun Ar-Rasyid memegang tampuk
kepemimpinan. Pada saat itu munculah madrasah-madrasah di Kufah dan
Bashrah. Muncul ulama madzhab fiqih yang empat, dan juga ulama dari
berbagai disiplin ilmu. Bahasa, sastra, kedokteran, filsafat, astronomi,
geografi, tata Negara dan lain sebagainya. Seiring dengan dengan
berjalannya waktu tercatatlah Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Khawarizmi, Ibnu
Taimiyah, Nashiruddin Attusi, Ibnu Khaldun dan seabrek ulama muslim
lainnya dengan aneka generasinya. Tak ayal pada zaman itu negeri-negeri
Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan. Semua datang berbondong-bondong
datang ke sana. Ketika dakwah islam telah sampai ke Andalusia, yaitu
Spanyol sekarang, munculah disana pusat-pusat ilmu seperti di kota
Cordoba, Granada dan sebagainya. Semuanya datang dari berbagai penjuru
untuk menimba berbagai disiplin ilmu disana di negeri Islam. Dan yang
perlu sekali lagi digarisbawahi mereka datang ke negeri Islam bukan
hanya untuk belajar tentang agama Islam, melainkan untuk belajar tentang
kedokteran, astronomi dan sebagainya, alangkah luar biasanya peradaban
Islam pada zaman itu. Pada zaman sejarah. Zaman yang sudah lama berlalu.
Dan kita layak berbangga dengan sejarah kita yang gemilang itu.
Sekarang kita kembali ke masa kini, yaitu hari ini. Hari dimana kita
selaku umat islam berbondong-bondong pergi ke barat untuk menuntut ilmu.
Beramai-ramai mengkonsumsi produk barat. Teknologinya, makanannya,
pakaiannya, dan segala tek-tek bengek yang datang dari barat kita lahap
semuanya. Sangat kontras sekali dengan keadaan kita pada sejarah dulu.
Salahkah itu semua?
Ketika sebagian umat muslim hanya hidup sebatas memikirkan hal-hal
yang sakral saja. Shalat, zakat, puasa, haji, baca al-quran dan bahkan
menghafalkannya. Sangat luar biasa memang. tapi alangkah memprihatinkan
apabila kita selaku umat islam hanya berhenti di situ saja. Ketika kita
berbicara bahwa segala ilmu pengetahuan adalah bersumber dari Islam,
apakah kita sudah mampu membuktikannya?
Ketika sebagian dari kita terlalu sibuk dengan symbol. Sarung, peci,
jenggot, celana cingkrang, symbol bulan-bintang, kitab suci. Sampai kita
lupa akan tujuan agama kita diturunkan ke bumi. Apakah salah apabila
kita memegang symbol dan pada saat yang sama melaksanakan tujuan inti
dari agama ini?
Ketika sebagian dari kita bahkan ada yang hanya taqlid buta. Yaitu
mengikuti sesuatu tanpa mengetahui alasannya. Serta merta ikut-ikutan
mengklaim suatu kelompok sesat, suatu metode salah dan sebagainya tanpa
dia mengerti sesatnya dimana dan salahnya dimana. Itu sangatlah tidak
pantas walaupun memang suatu kelompok adalah sesat atau suatu metode
adalah salah. Di sinilah pentingnya ilmu.
Ketika seorang muslim berkata “untuk apa kita belajar statistik?
Hafalkan saja Al-Quran! ”. Apa tidak sebaiknya kita melakukan
kedua-duanya?
Ketika seorang muslim hanya bersandar pada gemilangnya sejarah
peradaban Islam ratusan tahun yang lalu ketika Ia ditanya tentang apa
peran saudara seagamanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi saat ini.
Ternyata masih banyak yang perlu kita benahi, saudara.
Monday, 9 April 2012
11.05 pm.