Mencari Cinta di Surya Kencana (2): Kandang Badak
Setelah shalat subuh kami langsung memastikan kelengkapan barang-barang. Saya beli air mineral di warung Mang Idi. Setelah itu langsung sarapan yang menunya mirip menu makan siang. Biar kuat nanjak.
Setelah semuanya beres, Bismillah, kami siap berangkat. Keluar dari markas Mang Idi, ternyata Mang Idi, yang punya warung sudah berdiri di depan kami. Laki-laki tua itu masih menggunakan pakaian yang digunakan ketika shalat subuh tadi. Bawahan sarung, atasan baju koko, peci hitam di kepala, dan surban membungkus punggung dan kedua pundaknya. Tiba-tiba beliau menyalami kami satu persatu sambil mengucapkan beberapa kalimat, kurang lebih seperti ini:
"Selamat jalan, hati-hati di perjalanan. Semoga kembali dengan selamat!"
Setelah mendengar kata-kata dari Mang Idi tersebut, saya mulai merasa bahwa perjalanan ini semakin tampak sakral, menantang, penuh bahaya. Setelah semua bersalaman dengan Mang Idi, kami semua berkumpul membuat lingkaran, dan berdoa. Serius. Hening. Penuh harap. Penuh rasa antusias untuk berpetualang dan pulang kembali dengan kepuasan.
Doa yang serius itupun usai, dan kita akhirnya berfoto bergantian. dan tidak lupa selfie *dasar alay.
Pukul 06.00 Kami mulai berjalan setapak demi setapak. Awalnya landai, sedikit menanjak, melalui gerbang masuk pendakian, berfoto dan kemudian lanjut nanjak. Setelah berjalan beberapa ratus meter akhirnya bertemu dengan Pos 1, di sini kami menyerahkan surat pendaftaran pendakian. Dan beberapa teman mendapatkan hukuman denda sebesar Rp 10.000,- karena tidak menggunakan sepatu gunung, mereka meggunakan sandal. Alasan larangan tersebut adalah untuk menghindari bahaya gigitan reftil di perjalanan.
Perjalanan terus berlanjut, jengkal demi jengkal tanah menanjak terlewati, tetes demi tetes keringat bercucuran, teriakan, candaan, kegaduhan, semakin lama berjalan candaan dan kegaduhan semakin berkurang, lalu berganti menjadi desah nafas yang berlomba-lomba, sesak. Pundak mulai pegal, t-shirt berlogo "S" superman yang saya pakai mulai basah kuyup oleh keringat. Sesekali kami mendapati pendaki menghampiri kami dari arah atas dan menawari kami nasi uduk atau nasi kuning, beberapa teman ada yang beli harganya Rp 10.000,-, lumayan buat ganjal lambung.
Setelah melewati tebing air panas akhirnya sekitar pukul 11.30 kami sampai di dataran yang disebut Kandang Badak. Disana tanahnya lumayan datar, biasa digunakan peristirahatan buat para pendaki yang akan menuju puncak, atau beberapa pendaki pemula menjadikan Kandang Badak sebagai ujung pendakiannya, jadi apabila telah sampai Kandang Badak, mereka istirahat sejenak atau menginap lalu kemudian turun pulang. Tapi kami sudah memiliki tekad bulat untuk sampai puncak dan turun di Gunung Putri.
Setelah melewati tebing air panas akhirnya sekitar pukul 11.30 kami sampai di dataran yang disebut Kandang Badak. Disana tanahnya lumayan datar, biasa digunakan peristirahatan buat para pendaki yang akan menuju puncak, atau beberapa pendaki pemula menjadikan Kandang Badak sebagai ujung pendakiannya, jadi apabila telah sampai Kandang Badak, mereka istirahat sejenak atau menginap lalu kemudian turun pulang. Tapi kami sudah memiliki tekad bulat untuk sampai puncak dan turun di Gunung Putri.
Kandang Badak; tapi kandang badaknya mana?! gak ada. |
Mr. Tolay (baca: Toni Alay) |
Mr. Arifin, lagi mikirin calon bininya |
Mr. Tolay di tebing air panas. |
gueeeh |
Di Kandang Badak kami shalat Zhuhur dan Ashar jamak taqdim, melepas lelah, makan-makan, tiduran di matras tanpa tenda, ketawa ketiwi, ngobrol ala mahasiswa gak jelas, dan akhirnya tidur beneran. Dan perlu diketahui di Kandang Badak ada penjual kopi, rokok, mi instan, dan sebagainya, dan saya menyempatkan diri beli P*p mie dan harganya lumayan, Rp 17.000,-, wajar kalau agak mahal, soalnya bawanya jauh dan mesti nanjak, hehe
Setelah dirasa istirahat cukup, kami semua bangkit, memompa semangat lagi, di kelompok kami memang Riza yang paling berpengalaman soal pendakian, banyak nasehat dan tips-tips dari "suhu" Riza soal pendakian, di antaranya adalah: apabila dalam pendakian kita jangan istirahat terlalu lama, karena akan bikin ngantuk dan badan lemah, kadang terjadi juga kesurupan dan sebagainya. *buset, horor men!
Jam tangan digital saya menunjukan pukul 02.00 PM, dan kami semua beranjak dari Kandang Badak, Rute setelah Kandang Badak ternyata lebih terjal, kemiringan sekitar 42 derajat menurut teman-teman saya yang orang eksak, terus terang kalau saya yang ditanya soal derajat kemiringan kemungkinan saya jawab 120 derajat, secara saya lihat dari sudut yang berbeda. *hmmm
Setelah sekitar satu jam perjalanan akhirnya kami sampai di satu area yang menurut para pendaki adalah area yang menantang, horor dan mematikan. Kami semua yang pertama mendaki gunung Gede ini panik, suasana kembali sepi, penuh doa, penuh harap semoga bisa turun dan tiba di Jakarta dalam keadaan lengkap, tidak ada yang kurang satupun. Lagi-lagi Riza yang banyak memberi tips, diantaranya: kalo kita terperosok di gunung, pasti sakit, maka hati-hatilah!. *soal tips barusan, sumpah gue ngarang, tapi bener kan? krik-krik-krik
Kami terus berjalan, melewati akar-akar besar, menunduk, merangkak, bergelantung di tambang, hingga tibalah kami di sebuah tempat yang luar biasa, kami semua menelan ludah, setengah shock.
Kami terus berjalan, melewati akar-akar besar, menunduk, merangkak, bergelantung di tambang, hingga tibalah kami di sebuah tempat yang luar biasa, kami semua menelan ludah, setengah shock.
Area apakah gerangan???
to be continued....