Hafalan Al-Quran, Apa Kabar?
Saya sangat
bersyukur selalu berada dalam lingkungan yang baik, keluarga yang baik, dan
teman-teman yang baik. Bapak ibu saya selalu mengarahkan bahwa pendidikan agama
itu adalah nomor satu. Sebelum jadi apapun, fahamilah dulu agama. Kurang lebih
begitu. Ketika bapak saya menyekolahkan saya ke pesantren, Beliau tidak
mengharuskan saya untuk jadi kyai atau ustadz, tapi mengharuskan saya jadi
orang baik sebagai apapun gelar dan profesi saya kelak. Salah satu cara untuk
menjadi muslim ideal adalah memiliki hafalan Al-Quran dan jelas selanjutnya
untuk memahami dan mengamalkannya.
Saya punya kakak, namanya Yusuf
Rahmat. ia setelah lulus pesantren langsung masuk lembaga tahfizh Al-Quran selama dua tahun sebelum akhirnya kuliah. Dan
pada suatu hari dia pernah bilang ketika saya masih di pesantren, hafalan
Al-Quran itu manja, harus selalu dibaca, diulang-ulang, jangan dicuekin, kalo
udah dicuekin pasti kabur. Semakin lama dicuekin semakin jauh kaburnya. Kurang
lebih begitulah ungkapannya.
Mengikuti jejak kakak saya, pada
2009 saya masuk lembaga tahfizh Al-Quran di Bogor untuk mengisi liburan musim
panas di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta dan mengejar
ketertinggalan dari teman-teman kuliah saya pada waktu itu yang rata-rata telah
memiliki hafalan Al-Quran lebih banyak. Pada saat itu saya sangat
bersemangat untuk menghafal. Saya bisa setoran hafalan sebanyak satu juz
perpekan. Pada tahun tersebut saya bisa setoran sampai juz kelima dalam waktu
sekitar satu setengah bulan. Seingat saya, pada waktu itu jadwal begini: Senin
sampai Kamis untuk hafalan, Jumat libur, Sabtu dan Ahad untuk takrir (disebut
juga murajaah; mengulang/ memperkuat hafalan).
Ketika kembali ke kampus, kuliah
pun dimulai seperti biasa. Karena lebih banyak aktifitas (baca: ngebolang),
jadi saya cenderung lebih fokus untuk murajaah dibanding untuk menambah
hafalan. Ya meskipun akhirnya murajaah juga juz pertama terus yang diulang-ulang.
Itu pun yang diulang adalah lima halaman pertama aja. Sisanya keburu ngantuk
atau kalah sama malas. Payah lah pokoknya. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut halaqah
(klub) tahfizh di Masjid Al-Ikhlas Jatipadang, Pasar Minggu.
Setidaknya saya bisa mengulang hafalan lebih disiplin. Tapi karena terlalu
banyak alasan yang tidak bisa saya sebutkan (terlalu banyak), akhirnya banyak
jadwal murajaah yang saya skip, dan lagi-lagi murajaah tidak semulus
yang direncanakan. Ampuni hamba, ya Allah. Selang beberapa bulan saya
harus keluar dari halaqah tersebut karena terlalu banyak absen. Parah.
Pada musim panas 2010, saya masuk
lagi ke lembaga tahfizh yang sama di Bogor selama dua bulan kalau tidak salah.
Walhasil, hafalan cuma nambah dua juz, juz keenam dan ketujuh. Itu pun belum mutqin
(baca: kuat). Kenapa? Karena selama sebulan pertama saya hanya diizinkan untuk
mengulang hafalan-hafalan yang sudah pada kabur. Jadi, apabila hafalan lamanya
hilang, maka belum boleh menambah hafalan baru. Pada saat mengakhiri program
menghafal itu biasanya beberapa hari menjelang idul fitri. saya pamit kepada
kepada sang Guru, Kang Haji Deden (K.H. Deden M. Makhyaruddin, MA. Al-Hafizh) -
semoga selalu diberi kemuliaan dan kesehatan-, saya pulang dengan
menggenggam hafalan Al-Quran tujuh juz. Ketika saya pamit, pesan Haji Deden
adalah agar saya terus mengulang hafalan sesering mungkin, karena memang
hafalan saya yang sangat rentan lupa.
Oya, tentang Haji Deden. Beliau
adalah salah satu orang hebat yang pernah saya kenal. Dengan izin Allah beliau
mampu menghafal Al-Quran dalam waktu yang relatif cepat, yaitu dalam waktu kurang dari dua bulan dan mutqin. Beliau menulis pengalamannya dalam sebuah buku berjudul “Rahasia
Nikmatnya Menghafal Al-Quran”. Selain menjadi Pembina tahfizh, beliau juga
merupakan seorang dosen, pembicara di berbagai forum dan penggagas gerakan
Indonesia Murajaah.
Kembali ke nasib saya. Kembali ke
kampus, kegiatan kuliah seperti biasa, dan pada tahun tersebut saya memutuskan
untuk kuliah di kampus lain. Singkat kata saya kuliah di dua kampus berbeda.
Kegiatan semakin padat. Musim panas 2011 saya tidak lagi kembali ke Bogor, tapi
saya ke Pare, Kediri, Jawa timur. Saya merasa butuh jalan-jalan dan belajar bahasa Inggris.
Musim panas 2012, saya harus
mengikuti KKN (baca: kuliah kerja nyata) di kampus yang satu dan Ujian akhir
semester di kampus yang satunya lagi. Jelas hafalan Al-Quran terbengkalai.
Hanya bisa mengulang juz satu dan dua atau ayat Al-Quran yang ada dalam materi
kuliah.
Musim panas 2013, saya sedang kejar
tayang skripsi. Begadang tiap hari. Bulan puasa bukannya ngaji malah ngetik
skripsi. Bersyukur sekali akhirnya pada bulan puasa tahun tersebut saya sidang
skripsi dan mendapat nilai cumlaude.
September 2013, saya bergabung
bersama teman-teman LIPIA dan teman-teman dari Sekolah Alam Indonesia (SAI),
Jakarta Selatan untuk membuat sebuah lembaga pendidikan bernuansa Islam
berbasis komunitas. Di sini lah saya mulai kembali giat lagi mengulang hafalan
sedikit-sedikit. Sampai Ramadan 2014 saya terus sedikit-sedikit mengulang.
Februari 2015, saya pindah ke
Serpong. Dan pada bulan Ramadan tahun tersebut saya kembali bertemu Kang Haji
Deden lagi setelah sekian lama tak berjumpa. Pada waktu itu ada acara “Murajaah
di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan”, jadi memang salah satu syaratnya adalah
sudah memiliki hafalan minimal lima juz. Alhamdulillah 2015 hafalan saya
seperti di-refresh. Segar kembali
dengan murajaah dan bertemu kawan-kawan baru para penghafal Al-Quran.
Satu quote Kang Haji Deden
yang saya masih ingat sampai hari ini adalah: “Dosa terbesar penghafal Al-Quran
adalah tidak murajaah”. Kenapa tidak
murajaah yang menjadi dosa besar? bukan karena maksiat? Beliau bilang, kalau
kita murajaah-nya rajin, dihayati, dinikmati, maka tidak akan ada maksiat yang kita lakukan. Dan sebaliknya, ketika kita lalai murajaah, maka pintu-pintu
maksiat akan terbuka lebar. That’s the point.
Ketika tahun 2015 tersebut, Kang
Haji lebih menekankan murajaah mandiri. Kalau dulu datang untuk menghafal,
kalau sekarang datang untuk mengulang hafalan dan menerima semacam brainstorming,
mengubah mindset tentang menghafal Al-Quran. Di antaranya adalah soal berikut
seperti yang saya ingat.
Pertama, Tujuan Menghafal.
Banyak yang menghafal Al-Quran berhenti ketika
beres setoran. Seperti saya contohnya. Saya beres setoran hafalan sebanyak
tujuh juz. Beres di situ. Tidak ada tindak lanjutnya. Murajaah ogah-ogahan. Hafalannya
banyak hilang. Nah, justru tujuan menghafal Al-Quran sebenarnya adalah murajaah, bukan
beres setoran. Kapan kita merasa nikmat menjadi penghafal Al-Quran? Jawabannya adalah
ketika kita murajaah dengan lancar. Kenikmatan tiada tara. Sebaliknya, ketika mengulang hafalan tersendat-sendat, yang ada adalah rasa kesal dan
bahkan putus asa.
Kedua, Waktu.
Secara umum, para penghafal lebih
suka menunggu atau mencari waktu luang untuk menghafal atau murajaah hafalan. Padahal
seharusnya, kita luangkan waktu setengah atau satu jam khusus untuk Al-Quran. Misalkan
kita tiap hari luangkan waktu satu jam, 30 menit untuk murajaah, dan 30 menit
untuk menghafal. Tidak apa sebentar yang penting konsisten. Jadi memang tiap
orang memiliki kemampuan hafalan yang berbeda-beda.
Jadi pada Ramadan 2015 tersebut
para peserta diuji kecepatan menghafal ayat baru, dan mengulang ayat yang
pernah dihafal tapi lupa, sehingga diketahui untuk menambah hafalan atau ayat
yang lupa satu halaman dibutuhkan berapa menit. Kadang menambah hafalan lebih
lama daripada mengingat kembali ayat yang lupa atau bahkan sebaliknya, menambah
lebih cepat dari mengingat ayat yang lupa, maka kita harus tahu komposisinya
untuk meramu waktu. Misalkan setengah jam untuk menambah satu halaman ayat baru
dan 15 menit untuk satu halaman ayat lupa. Maka minimal kita harus menyisihkan
45 menit perhari untuk Al-Quran.
Ketiga, Hafalan Yang Susah.
Kebanyakan kita akan merasa bĂȘte, bosen,
kesal, marah, nyerah, ketika mengetahui hafalan kita lambat, mudah lupa, sering
ketuker ayat, tidak khatam-khatam, dan sebagainya. Nah, ini nih memang berat. Tapi
kita yang punya hafalan lemah, susah hafal, de el el tadi, tidak usah gundah
gulana. Tidak usah galau. Kita tidak bodoh. Kita tidak bebal. Yakini ketika
hafalan kita lambat, itu artinya si ayat Al-Quran yang dihafal sedang
jatuh cinta kepada kita. Ingin berlama-lama dengan kita. Tidak ingin segera
ditinggalkan oleh kita. Ayat tersebut ingin dimanja-manja oleh kita. That’s it. Tetap
pede! Jadi poin penghafal bukanlah di seberapa cepat dia menghafal, tapi di
seberapa sering dia mengulang hafalannya. Karena semakin banyak mengulang itu
artinya semakin banyak pahala.
Ilustrasinya begini. Si Ahmad
hafal juz satu dalam waktu empat hari. Tapi setelah empat hari menghafal dia
tidak lanjutkan dengan murajaah ataupun tilawah. Hanya cukup sampai hafal saja.
Sedangkan si Ibrahim menghafal juz satu selama seminggu. Selama 7 hari membaca,
mengulang-ulang, tiap hari hingga akhirnya hafal di hari ketujuh. Kira-kira
siapa yang pahalanya lebih banyak, yang hafal dalam waktu empat hari atau tujuh
hari? Secara zahir, yang selama tujuh hari terus-terusan membaca dan menghafal
lah yang lebih baik. Terlepas dari soal ikhlas dan tidak itu urusan Allah untuk menilai.
Dan banyak, cara-cara pandang lain
yang didiskusikan pada program tersebut. Yang membuat para penghafal mengangguk,
tertawa, tersenyum malu, merenung, berapi-api ketika menyimaknya. Dulu saya
sempat catat di buku, insyaallah jika ada kesempatan akan saya tuliskan di blog
ini.
Kemudian di Ramadan 2016, saya
tidak ada program menghafal atau murajaah secara khusus. Secara teori sudah
tahu menghafal dan murajaah itu harus bagaimana, tapi pada pelaksanaannya
selalu saja banyak alasan. Dan Ramadan 2017, posisi saya sudah di Tunisia. Tidak
ada waktu seluang ketika Ramadan di Indonesia. Di KBRI libur kerja hanya ketika
tanggal merah libur bersama idul fitri saja. Tanggal lainnya kerja. Lagi-lagi
saya mulai beralasan.
Lebaran 2017 sudah berlalu. Dan sekitar
dua pekan setelah lebaran ada undangan reuni penghafal Al-Quran alumni program “Murajaah
Di Sepuluh Hari Terakhir Ramadan” 2015 lalu. Dan yang jelas saya tidak ada
jadwal ke Indonesia pada saat ini. Saya balas permohonan maaf kepada panitia
karena tidak bisa hadir.
Ketika menyadari bahwa saya pernah
menghafal Al-Quran, Rasanya terenyuh. Sudah berapa hari, pekan, bulan yang saya
lalui tanpa murajaah.
Ya, dosa terbesar sang penghafal Al-Quran
adalah tidak murajaah.
Djerba, 24 Juli 2017