Berotot atau Berotak?
Judul singkat di atas sebenarnya pertanyaan yang selalu ingin saya ajukan pada mereka yang menganggap salah satu dari dua pilihan di atas lebih penting dari yang lainnya. Saya ingin mengeluarkan uneg-uneg tentang hal ini. Selamat membaca!
Sebuah proses pendidikan idealnya berfungsi sebagai lahan pengembangan anak dalam setiap unsur positif yang ada dalam dirinya, di antaranya: kognitif dan psikomotorik. Maka atas dasar itu sebuah lembaga pendidikan hadir dalam rangka menyajikan suatu kurikulum yang berwarna yang mampu mengakomodir para peserta didik sesuai dengan bakat dan minat mereka masing-masing.
Untuk kegiatan kognitif, kita bisa lihat kegiatannya di ruang-ruang kelas gedung sekolah yang identik dengan materi-materi yang dibanjiri dengan teori-teori ilmiah, rumus-rumus, dan pola-pola logika. Sementara untuk kegiatan yang identik dengan psikomotorik kita bisa lihat itu di lapangan-lapangan olahraga, arena tanding bela diri, panggung drama dan musik, mimbar orasi, meja debat, dan sebagainya.
Dua hal di atas, kognitif dan psikomotorik adalah dua kelompok kecerdasan umum seorang manusia. Ada manusia yang hanya cerdas secara kognitif, kecerdasan berteori dan berlogika, dan ada juga manusia yang cerdas secara psikomotorik, kecerdasan gerak, kecerdasan secara fisik. Ada manusia yang hanya memiliki salah satu saja dari dua kecerdasan tersebut dan ada juga yang memiliki kedua-duanya. Yang jelas, yang memiliki keduanya lah yang lebih unggul. Itu mungkin yang biasa kita sebut multitalenta.
Kecerdasan kognitif digabungkan dengan kecerdasan psikomotorik akan menghasilkan efek yang luar biasa. Karena mereka yang cerdas secara kognitif tanpa disertai kecerdasan psikomotorik mungkin mereka hanya akan pintar buat diri mereka sendiri, tak ada kemampuan untuk menularkan cara pandang, tak ada keberanian, tak ada sense of social, dan tak ada keberanian untuk bertindak.
Ketika melihat fakta pada hari ini, orang yang memiliki kecerdasan kognitif yang baik adalah mereka yang dianggap ‘cerdas’ oleh lingkungannya. Sementara orang yang memiliki kecerdasan psikomotorik yang baik tapi tidak cerdas secara kognitif kadang terabaikan. Minim apresiasi dan fasilitas. Berapa banyak dari mereka yang akhirnya keluar dari lingkungan sosialnya dan membentuk lingkungannya sendiri dan kadang berdampak negatif. Ketika yang memiliki kecenderungan menjadi olahragawan seperti pembalap, apabila mereka tak terakomodir maka akan terjadi balapan liar, mereka yang berjiwa petarung akan menjadi suka tawuran, mereka yang memiliki jiwa kepemimpinan akan menjadi ketua geng dan lain sebagainya.
Maka sekali lagi pendidikan memang seharusnya mengambil peran dalam segala hal di atas. Ketika ada anak yang mendapat juara bela diri selayaknya orang-orang terdekatnya memberi apresiasi, karena itu adalah suatu prestasi. Bela diri yang baik akan membuat seorang anak menjadi lebih tangguh, percaya diri, dan sportif. Tidak selayaknya orang tua berkata kepada anaknya “saya tidak bangga, itu otot bukan otak”. Kita harus katakan “hello!” kepada orang tua yang berkata semacam itu pada anaknya. Seorang anak mungkin saja memiliki kemampuan kognitif yang luar biasa, tapi tanpa dibarengi dengan psikomotorik yang baik anak tersebut bisa menjadi pengecut, tak tegas, dan anti sosial.
“Seorang mukmin yang kuat lebih Allah cintai daripada mukmin yang lemah” begitulah suatu pesan dalam agama Islam. Kuat di sini bisa saja ditafsirkan lebih luas dan dilihat dari segala dimensi. Kuat secara kecerdasan otak, kuat secara fisik, kuat secara materi. Semakin kita kuat, semakin kita mampu berbuat banyak untuk membantu orang lain. Semakin kita kuat, semakin kita mampu beribadah dengan baik. Saya ingin mengakhiri tulisan saya dengan sebuah quote popular dari film superhero Hollywood, “Dalam kekuatan yang besar terdapat tanggung jawab yang besar”.
25 Mei 2014
Saya lupa telah menulis tulisan ini di mana. Tapi menurut keyakinan saya, saya menulis ini di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ketika saya masih mengajar di sebuah boarding School rintisan bersama teman-teman kuliah dan senior-senior dari Sekolah Alam Indonesia, Rawakopi, Jakarta Selatan.