Nilai Anak Anda Merah, Kenapa Harus Marah?

Masih hangat. Beberapa hari lalu, saya membagikan rapor kepada siswa-siswa kelas 9 yang saya menjadi wali kelasnya. Karena bagi rapor kemarin adalah bagi rapor terakhir maka saya bahas nilai secara umum, tidak saya bahas terlalu detil. 



Pada pertemuan tersebut, orang tua siswa dipanggil sesuai dengan nomor antrian yang kami siapkan di depan kelas. Ketika orang tua siswa satu persatu maju untuk duduk di depan meja saya, hal-hal yang saya sampaikan adalah keutamaan siswa dan hal-hal yang menjadi kelemahan mereka. Yang menjadi penekanan adalah lebih ke attitude, sikap. 

Saya sampaikan bahwa nilai rapor atau ijazah hanyalah angka-angka yang mungkin saja menjadi pembuka sebuah petualangan akademik ke depannya, tapi yang menjadi nilai mereka dalam bermasyarakat, dalam bersaing di dunia nyata adalah sikap mereka (Attitude). Kejujuran, tanggung jawab, kepercayaan diri, komitmen, kegigihan, kesabaran, kemampuan bekerja sama, kemauan belajar, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebutlah yang membuat seseorang bisa menjadi lebih bernilai dari yang lainnya. 

Selain itu, saya juga menyarankan para orang tua untuk bijak memilihkan putra atau putrinya pendidikan lanjutan setelah lulus. Bisa MA, SMA, SMK, atau pesantren bisa menjadi pilihan. Pilihan tersebut bisa dipilih menyesuaikan dengan target dan kemampuan siswa tersebut, supaya tidak berhenti di tengah jalan, atau selesai tapi tidak maksimal. Belajar setengah-setengah karena merasa salah jurusan. 

Secara umum orang tua menerima dengan baik apa yang saya sampaikan, tak jarang dialog-dialog serius atau sekadar kelakar ringan juga muncul di sela-sela pembagian rapor tersebut. Kepada setiap orang tua murid saya mengakhiri sesi dengan menyampaikan terima kasih atas kerjasama mereka dan permohonan maaf atas kehilafan yang mungkin saja terjadi.

Yang membuat saya terngiang-ngiang adalah ketika seorang ibu bersama seorang putrinya, murid saya tentunya, maju ke meja saya dengan lesu. Ketika saya menyapa, mereka berdua menunduk suram, di antara keduanya tak ada yang berkata-kata. Senyap. Hingga beberapa menit setelah saya mencoba mencairkan suasana muncullah kata-kata kekecewaan dari Si Ibu yang ditumpahkan aja ke hadapan putrinya. 

Saya coba menengahi, tapi lagi-lagi Si Ibu menghujani putrinya dengan kata-kata yang saya anggap menyakitkan. "Seleksi masuk sekolah #%# 1 Kamu gak bisa masuk. Payah banget. Kamu pasti meremehkan ya? Gak belajar ya kamu? teman-teman kamu saja pada masuk kok!" Tak ambil tempo Si Ibu 'menoyor' kepala putrinya. "Sekarang terserah kamu, setelah gak lolos sekolah itu, kamu mau nangis tiga hari, mau matanya sampe bengkak juga masa bodo." lanjut ibunya.

Sepersekian detik saya syok. Saya berusaha menguasai diri. Saya coba menyela pertikaian mereka. Tapi lagi dan lagi Si Ibu melanjutkan ceramahnya, saya coba menyela lagi sampai saya benar-benar bisa bicara lebih leluasa. Saya coba membela murid saya tersebut dengan memberikan fakta bahwa kemampuannya dalam bahasa Inggris di atas rata-rata teman sepantarannya di kelas, meskipun respon ibunya: "Ah cuma bahasa Inggris aja, yang lainnya gimana?" sambil melotot ke anaknya. 

Pembagian rapor hari itu selesai dilaksanakan dengan baik, tapi kejadian tersebut masih saja mengganjal di hati saya. Hingga keesokan hari setelah bagi rapor saya sampaikan pesan singkat ke murid saya tersebut untuk kuat dan jika butuh asistensi ke BK atau ke saya di lain waktu saya persilakan. 

Kenapa Harus Marah Ketika Nilai Anak Merah?

Tentu, nilai yang bagus pasti akan menyenangkan. Tapi sekali lagi nilai angka itu bukan segalanya, apalagi ketika nilainya tidak seburuk itu. Semuanya akan baik-baik saja selama prilakunya baik, karena yang membuat seorang manusia bisa bertahan di masa depan adalah attitude-nya. Nilai angka, atau nilai kognitif siswa pasti berbeda-beda. Ilmu pengetahuan itu progresif, apa yang dipelajari hari ini belum tentu aplikatif di kemudian hari. Mental ingin belajar itulah sikap yang akan membuat siswa tetap relevan, tidak tertinggal dengan pengetahuan-pengetahuan baru yang mereka butuhkan. Tidak semua mata pelajaran yang mereka pelajari hari ini akan digunakan di dunia nyata. Mata pelajaran itu sebagai media siswa untuk belajar, bukan menjadi tujuan. 

Kita sebagi guru atau orang tua harus bijak. Apresiasi keunggulan anak-anak kita. Sabar menghadapi kelabilan mereka. Bisa saja dahulu kala kita adalah siswa berprestasi ketika muda, tapi apakah kita boleh menyamakan standar anak-anak kita, murid-murid kita. Semuanya harus terukur, tidak asal banding-membandingkan. Tidak asal marah-marah. 

Bisa saja kita berharap hal baik untuk anak/murid kita dengan cara-cara tersebut, tapi bisa jadi justru malah kontra produktif ketika caranya keliru. Anaknya dibanding-bandingkan, dibodoh-bodoh, ditoyor-toyor, bukan malah anaknya jadi berprestasi malah, anaknya jadi minder, tidak percaya diri, penakut/tidak berani mencoba bereksperimen, takut disalahkan, dan sebagainya, ya sudahlah. Rusak sudah. 

Again, bapak/ibu orang tua, atau guru. Yuk kita belajar lagi, cara mendidik anak yang baik agar kebermanfaatannya berlipat-lipat. 

Ali Bin Abi Thalib r.a. pada zaman dahulu kala berpesan: 

“Didiklah anak sesuai dengan zamannya karena mereka hidup pada zamannya bukan pada zamanmu”.


Wallahu'alam bishowab.


Postingan populer dari blog ini

Contoh Job Interview Berbahasa Inggris dan Tips Cara Menjawabnya

Bagaimana bisa bekerja di Kedutaan Besar RI di Luar Negeri?

Contoh Tes TOEFL yang 'Aduhai'