Cerita dalam Almanak #2: Pencarian Jati Diri
Setelah memasuki semester 3 I’dad lughawi di
LIPIA, saya sudah bisa beradaptasi dengan Jakarta, dan tahun ini adalah
masa-masanya saya semangat kuliah, ikut organisasi, jadi panitia acara, aktif
ikut seminar di kampus-kampus, setoran Al-Quran di masjid Al-Ikhlas Jatipadang,
dan pada tahun ini saya sedang sering-seringnya berkunjung ke daerah Pasar
Senen atau Kwitang untuk mencari buku murah.
Salah satu cita-cita saya dulu adalah bisa kuliah di Timur Tengah, yaitu di Universitas Al-Azhar, Cairo atau di Universitas Islam Madinah (disingkat UIM), Saudi Arabia. Pada waktu itu saya sempat ikut seleksi untuk beasiswa kuliah di Al-Azhar yang diselenggarakan oleh kedutaan Republic Arab Mesir di Jakarta. Tes tulis dan wawancara langsung dengan syaikh-syaikh dari Al-Azhar, Kairo. Saya juga pernah ikut daurah (baca: pelatihan) di Gontor yang diselenggarakan oleh UIM dan dilanjutkan dengan muqobalah (baca: wawancara) untuk beasiswa di UIM. Dan walhasil saya belum lulus untuk Universitas Al-Azhar ataupun UIM. Akhirnya setelah itu saya memutuskan untuk focus di Indonesia. Mencoba untuk tidak kecewa, mungkin ini memang yang terbaik.
Awal 2011 saya lulus program I’dad
lughowi di LIPIA dengan predikat Mumtaz (baca: istimewa) dengan
rata-rata nilai 93 dan masuk program Ta’lim Takmili tanpa tes.
Tak terasa sudah hidup 2 tahun di
Jakarta dengan segala ceritanya. Di tahun ini terus terang saya mengalami
masa-masa alay. Kalo saya lihat-lihat kembali foto-foto yang diambil pada tahun
tersebut rasanya saya mau muntah. Malu sendiri lihatnya. Saya mulai memakai
gaya rambut diurai ke depan menutupi kening dan menggunakan kacamata padahal
mata saya tidak minus. Pada saat itu umur saya 22, mungkin pada saat itu adalah
masa alay yang tertunda.
Secara umum anak alay itu adalah mereka yang masih SMA,
tapi saya alay pas zaman kuliah. Parah. Mungkin banyak juga orang lain yang
mengalami telat masa alay. Saya menyimpulkan kemungkinan penyebabnya adalah
karena saya kelamaan tinggal di pesantren dengan segala disiplinnya. No
jeans, no long hair, no short pants, dan sebagainya ditambah dengan
pergaulan yang lebih luas dari sebelumnya. Media sosial yang sudah mulai ramai
pun berpengaruh besar.
Pada tahun tersebut saya mendaftar
kuliah di kampus lokal. Secara beberapa tahun ini saya menuntut ilmu bukan di kampus
lokal asli Indonesia, tapi sebuah lembaga di bawah naungan sebuah universitas
di Riyadh, Saudi Arabia, Al-Imam Muhammad bin Saud Islamic University. maka yang saya temui dari staff dan dosen
mayoritas adalah orang timur tengah. Maka tahun tersebut saya putuskan
mendaftar di Unversitas Islam Jakarta di daerah Utan Kayu, Matraman, Jakarta
Timur. Saya masuk di Fakultas Agama Islam, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Saya
berstatus mahasiswa pindahan dengan konversi beberapa mata kuliah dari program I’dad
lughowi di LIPIA. Maka tahun itu
saya berstatus mahasiswa di dua kampus berbeda. Ketika pukul 12.00 kegiatan
belajar di LIPIA selesai, maka saya langsung bergegas menuju halte transjakarta
busway Pejaten di Jakarta Selatan berangkat menuju halte Pramuka LIA di Jakarta
Timur dengan 1 kali transit, di halte
Halimun atau terkadang di Halte Dukuh Atas. Perjalan siang hari biasanya
45 sampai 50 menitan. Capek bukan main.
Ketika pulang kuliah lebih capek
lagi, dari halte Pramuka LIA pukul 17.00 bisa saja sampai halte Jatipadang
pukul 20.00. Alias 3 jam perjalanan. Halte jatipadang adalah halte setelah
halte Pejaten jika kita dari arah Mampang Prapatan menuju Ragunan. Yaitu halte
terdekat dengan tempat saya tinggal. Setelah penderitaan itu akhirnya saya
memutuskan untuk membuat permohonan bantuan sepeda motor ke orang tua saya
tercinta di rumah, dan pada tahun itu pula akhirnya saya punya surat izin
mengemudi tipe C.
Tahun 2011 merupakan tahun perjuangan. Tahun
yang lebih berat dari tahun sebelumnya. Pengeluaran dana lebih besar, tenaga dan
pikiran terkuras, tapi pada tahun itu pula saya mendapatkan banyak hal.
Sahabat-sahabat baru yang luar biasa, cara pandang yang lebih melebar, dosen-dosen
dengan segala kelebihan masing-masing. Akhirnya saya bisa menikmati kuliah
dengan cita rasa Indonesia setelah beberapa tahun kuliah dengan cita rasa Arab.
Dan pada tahun itu pula saya mulai ikut lomba debat bahasa Arab di
kampus-kampus seperti UI dan UNJ.
selanjutnya
selanjutnya