Cerita dalam Almanak #5: Masa-Masa Penuh Hikmah
Ketika petasan dan kembang api
meledak-ledak pada permulaan tahun 2014, saya lebih memilih tidur di kosan
termahal yang pernah saya sewa. Harga Rp750.000 untuk sebuah kosan adalah harga
yang cukup tinggi bagi saya, sendirian.
Jadi, setelah saya mengundurkan diri
dari boarding, saya langsung mencari kosan di sekitar Ragunan. Saya
beberapa hari tinggal di sana sambil mempersiapkan diri untuk berangkat ke
Kediri, Jawa Timur untuk belajar bahasa Inggris intensif di sana, persiapan
untuk tes TOEFL dengan target skor minimal 525 untuk persyaratan untuk mendaftar
MetroTV.
Cerita pada tahun ini pernah saya
tulis detail di blog saya dengan judul The Dauntless October. Silahkan
dibaca jika berkenan. Kesimpulannya, pada tahun ini saya mengalami banyak
pengalaman, dari yang manis hingga yang pahit.
Tes TOEFL yang aduhai, tes S2 UI yang belum berhasil, tes-tes
kerja yang juga belum berhasil dan lain sebagainya.
Hidup setelah lulus kuliah itu serba
dilematis, kita harus melewati masa transisi dari mental mahasiswa yang ngutu
buku di dunia kampus kepada mental manusia nyata yang dituntut bersaing di
dunia nyata, jauh lebih luas beribu-ribu lipat dari sekedar dunia kampus. Dari
pengalaman tersebut, saya sangat menghargai mereka yang ketika masa kuliah bisa
menyibukan diri untuk berbisnis atau berorganisasi secara luas di samping kegiatan mereka yang menumpuk di
kampus.
Pada tahun ini saya ikut Komunitas
Fakta Bahasa cabang Jakarta Selatan. Yaitu sebuah komunitas untuk mangkalnya
anak-anak muda gaul yang mempunyai kemampuan multibahasa. Saya bertemu orang-orang
yang luar biasa. Ada yang bisa bahasa Jerman, Spanyol, Arab, Belanda, Rusia,
Mandarin, Prancis, Espreranto, Jepang, Korea, dan lain-lain. Kebetulan saya bisa bahasa Arab maka di
komunitas ini selain saya ikut club Spanyol dan Prancis, saya bertindak juga
sebagai tutor club Arab. Seru banget, di komunitas ini kita berbagi banyak
wawasan dengan aggotanya. Kami ‘clubbing’- alias nge-club tiap Ahad, di
daerah Pejaten, Jaksel. Pagi sampai
sore. Semakin banyak club yang diikuti maka pulangnya semakin sore.
Di sela-sela kegiatan yang ‘banyak’
itu, lagi-lagi Wahid, teman yang dulu kenal di Gunung Salak mengenalkan saya
dengan relasinya di ACT Foundation (Aksi Cepat Tanggap), Kang Aat, yang sedang
membutuhkan interpreter untuk tamu dari Palestina. Saya tidak menyia-nyiakan
kesempatan, saya pun jadi interpreter. Cerita ini pernah saya tulis di blog ini
dengan judul: Penerjemah, Interpreter, dan segala ceritanya.
Setelah melamar kerja di beberapa
perusahaan dan tidak berjodoh, sekitar bulan Oktober 2014 saya menyerahkan
berkas ke Sekolah Insan Cendekia Madani BSD, Serpong, untuk mendaftar sebagai
guru bahasa Arab atas dasar saran sahabat saya, Romi. Pada saat itu juga saya
berfikir ICM akan rugi sekali jika menolak saya. Saya bukan guru bahasa Arab biasa,
setidaknya selain bisa bahasa Arab, saya juga bisa bahasa Inggris dan bisa
sedikit sekali bahasa Spanyol dan Prancis.
Pada akhir tahun tersebut selain di
tetap mengajar di boarding, saya menyibukkan diri dengan menjadi
penerjemah freelance untuk subtitle film meski tidak bertahan
lama, karena lebih menyita waktu daripada menterjemahkan tulisan. Sempat
bergabung bersama penerjemah kitab turats (baca: kitab klasik) tapi saya
mengundurkan diri karena projeknya terlalu lama dan lagi-lagi menyita waktu
terlalu banyak, deadline-nya sehari 5 halaman, jelas itu akan menyebabkan alokasi waktu
untuk membaca dan kegiatan mengajar saya di boarding terganggu. Sebenarnya menjadi
penerjemah itu profesi yang casual sekali. Bisa dikerjakan dimanapun,
tanpa perlu menggunakan seragam rapih, tapi butuh kecerdasan, kesabaran dan
ketelitian tinggi memang.
Selanjutnya saya lebih banyak membaca
buku-buku bisnis, berkumpul dengan teman-teman pesantren dulu untuk
mengumpulkan ide bisnis. Meski pada akhirnya belum membuahkan ide bisnis yang
gemilang. Ada saja sih ide-ide muncul, tapi terkadang terlalu muluk-muluk,
terlalu susah digarap dan sebagainya. Akhirnya semua tetap pada pekerjaannya masing-masing.
Ngomong-ngomong soal bisnis, sering sekali saya dan teman-teman terbentur di
masalah modal. Entahlah, saya dan teman-teman mungkin belum cukup mumpuni untuk
membuat bisnis yang ciamik. Kata orang, sih, modal bukan perkara utama
dalam bisnis. Tapi yasudahlah, saya akan terus berusaha untuk bisa membuat
sebuah bisnis, Insya Allah.
Katanya sih kita harus meninggalkan zona nyaman
kita. Itu yang berat.