Cerita dalam Almanak #3: Tidak Jadi Kiamat
Tahun ini saya lulus program Ta’lim
Takmili di LIPIA dengan predikat Jayyid Jiddan (baca: Baik Sekali)
dengan nilai rata-rata 83. Dengan kuliah di dua kampus, Alhamdulillah masih
bisa mendapat nilai Jayyid Jiddan. Dan saya masuk tingkat selanjutnya di
LIPIA, yaitu masuk program S1 dengan jurusan Ilmu Syariah yang akan ditempuh
selama 8 semester. Untuk masuk level ini tentunya saya harus mengikuti tes
dikarenakan rata-rata nilai saya di bawah 90 poin. Senang rasanya bisa masuk level
syariah, bahagia sekali. Besar harapan untuk menempuh program syariah sampai
lulus.
Waktu berjalan dan saya pun berjalan
menjalani kuliah di dua kampus, LIPIA dan UIJ. Dengan segala upaya kuliah di
keduanya berjalan. Hingga sampailah di waktu ujian akhir semester 1 di LIPIA
dan kuliah kerja nyata di UIJ di daerah Jawa Timur dengan jadwalnya yang
berbarengan. Di sinilah ‘bencana’ itu bermula.
Bingung bukan main. Sempat merasa
menyesal juga kenapa tidak mengambil cuti saja ketika tahu diterima di program
syariah supaya kuliah di kedua-duanya aman. Semuanya tidak bisa ditolak, saya
hadapi dengan berani. Saya bersyukur pada saat itu ada sahabat saya, Luki
Perdana, yang senasib. Dia kuliah di LIPIA dan UIJ juga. Kita KKN bareng.
KKN belangsung selama sebulan di Jawa
Timur dan UAS di LIPIA selama 5 hari di tengah-tengah acara kegiatan KKN. KKN
seminggu berjalan saya izin ke Jakarta untuk mengikuti UAS di LIPIA. Dengan
waktu yang terbatas untuk belajar dan kondisi tubuh yang lelah UAS selesai dan
kami kembali ke Jawa Timur. KKN masih berlangsung dan pengumuman nilai pun
terbit. Saya sangat takut menerima kabar tentang nilai. Saya mencoba untuk
tidak bertanya pada siapapun soal nilai. Saya mengira saya akan DO karena
sebelumnya tersiar kabar bahwa mahasiswa semester 1 yang mendapatkan nilai di
bawah standar akan dikeluarkan.
Pada suatu hari ketika saya masih di Jawa
Timur, masuklah pesan singkat ke ponsel Samsung android saya:
“Fiq, nilai ente maqbul: 67.”
Booom!, meski sudah siap dengan
segala hasil, hati tetap saja kecewa. Kecewa parah. ketika I’dad, nilai
saya tidak pernah kurang dari 90, pas takmily tidak pernah lebih rendah
dari 80, eh, pas program syariah tiba-tiba dapat nilai di bawah 70 itu rasanya
bagai Syahrini di-PHP-in Anang Hermansyah. Nelangsa.
Akhirnya di semester selanjutnya,
yaitu di semester baru setelah lebaran saya memutuskan untuk mengajukan cuti
dari LIPIA, dan dikabulkan. Dan saya mulai focus menyelesaikan mata kuliah pagi
yang sebelumnya bentrok dengan kuliah di LIPIA. Pada saat cuti inilah saya jadi
lebih banyak waktu untuk jalan-jalan, nongkrong, jualan online di tokobagus.com
(sekarang OLX), ngajar bahasa Arab di kantor Pajak Kalibata, di Apartemen
Thamrin City, di kursusan Depok, dll. Setidaknya saat itu saya jadi mahasiswa
yang lumayan gak kere-kere amat.