Cerita dalam Almanak #6: Sampai jumpa di Al-Aqsha!
Di akhir Januari 2015 dengan penuh
semangat saya mengikuti sebuah pelatihan Public Speaking yang dilaksanakan
di Kota Bunga, Puncak, Cianjur, selama 2 hari. Saya bersemangat bukan hanya
karena pelatihannya gratis, tapi lebih karena pelatihan ini langsung ditangani
oleh Syaikh Abdullah Al-Baabithin yang didatangkan langsung dari Riyadh, Saudi Arabia. Beliau adalah penulis dari buku “limaadza
nakhsya al-ilqa?” (Baca: Kenapa takut pidato?), yang mana buku tersebut
adalah referensi utama skripsi saya pada tahun 2013 lalu. Sebuah takdir yang
sangat membahagiakan. Alhamdulillah.
Syaikh Al-Baabithiin |
Pertengahan Februari saya dikabari
Kang Aat dari ACT, kalo mereka sedang membutuhkan interpreter lagi. Seperti
sebelumnya, kali ini klien saya dari Palestina juga, bedanya klien kali ini
adalah seorang akademisi dan mantan orang pemerintahan pada masa perdana
menteri Ismail Haniya. Namanya Mr. Ayyesh Al-Najjar, Badannya tinggi besar dan
rambutnya sudah penuh uban. Berbeda dengan klien sebelumnya yang seorang
pengusaha muda. Karena selain berbicara bahasa Arab, kemampuan bahasa Inggris
Mr. Ayyesh juga sangat bagus, maka komunikasi dengan beliau sangat lancar.
Saya mendampingi Mr. Ayyesh dimulai
dari penjemputan beliau dari bandara Soekarno-Hatta. Setelah beliau istirahat
sejenak di hotel sederhana di daerah Pasar Minggu, perjuangan dimulai dengan talk
show di sekitar Jakarta, kemudian dilanjutkan menuju Tangerang Selatan. Hari
selanjutnya ke Kota Kasablanka, bertemu dengan pimpinan-pimpinannya. Itulah
luar biasanya interpreter, bisa duduk di antara dua orang hebat sekaligus
mengetahui rahasia-rahasia dari keduanya.
Setelah beres di Jakarta, selanjutnya
kampus IPB, Bogor, dan pukul 17.00 langsung kembali ke arah Jakarta menuju
bandara Halim Perdana Kusuma untuk penerbangan ke Jogjakarta pada pukul 19.30.
Yang berangkat ke Jogja hanya saya berdua dengan Mr. Ayyesh. Kami menggunakan
maskapai penerbangan Citilink. Terus terang, ini adalah kali pertama saya naik
pesawat. Gila, saya senang bukan main, naik pesawat ke Jogja, gratis, bahkan
dibayar. Saya mengucap syukur berkali-kali.
Pada saat di pesawat, sebelum
mbak-mbak pramugari yang sering senyum terpaksa, Mr. Ayyesh lah yang mengajari
saya menggunakan seat belt terlebih dahulu. Ketika pesawat berjalan
pelan di landasan dan membuat ancang-ancang untuk take off, saya mulai
gereget-gereget antusias ingin segera merasakan terbang di atas ribuan kaki di
atas permukaan laut. Pesawat berjalan pelan seperti bus sedang antri di pintu
tol, kemudian menjadi cepat seperti bus yang akan keluar dari terminal,
kemudian menjadi lebih cepat ketika masuk track lurus seperti berlari di
jalan tol, semakin kencang, semakin kencang, sedikit demi sedikit kepala
pesawat menjadi lebih tinggi, saya merasa seperti ditarik menempel ke tempat
duduk, dan wusss, saya melihat bangunan-bangunan bandara ada di bawah
saya, gedung-gedung mulai tampak mengecil, dan lampu-lampu kota Jakarta tampak
berwarna-warni memanjakan mata. Semakin tinggi, semakin tinggi, hingga tak bisa
lagi melihat ke bawah. Wohoooww. Norak-norak deh, gue.
Setibanya di Jogja, saya langsung
disambut oleh ketua ACT Jogja Mas Awal Purnama beserta timnya. Satu hal yang
saya suka dari orang Jogja adalah bahasa Jawanya yang renyah dan tidak terlalu
medok sehingga terkesan merdu tapi tidak kemayu. Saat itu jogja sedang disiram
gerimis, mobil jemputan harus sedikit mepet ke batas penjemputan. Kami
berlanjut ke wisata kuliner dan diakhiri dengan perjalanan ke hotel untuk
istirahat.
Di Radio MQ Djogja |
Di sela-sela kegiatan seringkali Mr. Ayyesh bercerita tentang tanah Palestina, tanah Arab, tanah para Nabi, tentang kerakusan dan kebiadaban-kebiadaban Israel sampai-sampai saya terlecut menjadi terbawa berani. Beliau juga cerita tentang betapa banyak marga Al-Najjar yang menjadi patriot perang demi membela tanah dan Masjid Al-Aqsha. Beliau juga cerita tentang anak-anaknya yang sekarang berada di Malaysia menyertainya dalam rangka studi magisternya di IIUM.
Banyak prinsip hidup orang Palestina
yang beliau bagi kepada saya, diantaranya adalah soal makna optimis, keyakinan,
kekuatan, dan keberanian. Mungkin kita melihat masyarakat Palestina begitu
porakporanda secara fisik, tapi saya melihat dari kobaran semangat Mr. Ayyesh,
justru kita sebagai masyarakat Indonesia yang baik-baik saja secara fisik,
sepertinya harus belajar makna optimis dan keyakinan dari mereka.
Saya bersama Mr. Ayyesh berada di Jogja
dari sejak kamis malam, keesokan harinya dari pagi-pagi kami sudah siap untuk
mengisi ceramah di majlis ta’lim-majlis ta’lim, kemudian ke sekolah-sekolah,
masjid-masjid, dan kampus-kampus di sekitar Jogja. Di antara yang paling
berkesan adalah saya berdiri bersama Mr. Ayyesh di masjid UGM selepas jumatan
usai. Banyak sekali yang hadir dan menyimak, tak lupa banyak
pertanyaan-pertanyaan berbobot yang harus dijawab. Banyak sekali pertanyaan
terkait isu-isu hangat di Palestina dan timur tengah secara umum. Biasanya Mr.
Ayyesh akan menjelaskan dengan bahasa Inggris jika penanya bisa berbahasa
Inggris.
Selain ke masjid UGM, saya juga
sangat senang bisa berkunjung, shalat, dan mengisi di masjid Djogokariyan yang
legendaris itu. Masjid yang tidak terlalu besar tapi sentuhan manajemennya
tingkat dewa. Soal masjid ini mereka tidak main-main.
Ada hal lain yang membuat saya
terharu adalah ketika saya di Jogja, teman-teman lama saya pada berdatangan,
ada yang sedang melanjutkan kuliah pascasarjana di UGM, ada alumni ISI Djogja yang
sedang mencari karya yang hilang, ada juga teman lama di kosan ketika kuliah di
LIPIA Jakarta, datang dari Magelang jauh-jauh ke UGM hanya untuk ketemu saya,
sahabat lamanya. Masya Allah, saya mau menangis rasanya. Saya hanya bisa ketemu
mereka sebentar sekali. Tidak sampai setengah jam untuk ngobrol, karena waktu
itu saya sedang dikejar jadwal.
Sabtu malam akhirnya saya dan Mr.
Ayyesh pamit untuk kembali ke Jakarta. Ingin rasanya lebih lama di Jogja.
Sampai jumpa, Djogja. Soon.
***
Setelah pulang dari Djogja, ternyata
Allah menganugerahi saya hal yang membuat saya seperti mimpi. Pada hari Ahad,
22 Februari 2015, Saya berkesempatan berdiri bersama Mr. Ayyesh di panggungnya
Ust. Yusuf Mansur di Masjid Istiqlal. Ketika saya bersiap maju menterjemahkan
apa yang akan Mr. Ayyesh sampaikan, saya menyempatkan diri untuk bersalaman,
mencium tangan Ust. Yusuf Mansur terlebih dahulu. Ketika saya berdiri
menterjemahkan, Ust. Yusuf Mansur berada di belakang kami. Masya Allah.
Dan hari itu adalah hari terakhir
saya menjadi penerjemah untuk Mr. Ayyesh, karena ketika hari penjemputan Mr.
Ayyesh dari bandara beberapa hari sebelumnya, pihak HRD Sekolah Insan Cendekia
Madani menginformasikan bahwa saya diterima mengajar di sekolah tersebut, dan
mereka meminta saya masuk pada tanggal 23 Februari 2015, itu artinya senin
besok.
Sepulang dari Masjid Istiqlal saya
mengantarkan Mr. Ayyesh berpindah hotel dari daeah Pasar Minggu ke hotel di
sekitar Kemang. Selain bersama Mr. Ayyesh saya juga ditemani 2 relawan ACT yang
lain. Sebelum saya meninggalkan beliau untuk istirahat, saya hendak berpamitan
terlebih dahulu karena selanjutnya bukan saya lagi penerjemahnya. Saya akhirnya
berpamitan, memohon maaf dan berdoa semoga Allah mempertemukan kami lagi di
lain kesempatan.
“Ilaalliqo fil aqsha! Sampai
jumpa di Al-Aqsha!” katanya.
Saya berjalan ke luar ruangan hotel
siap mengikuti teman-teman lain, tapi tiba-tiba ada sesutau yang tertahan, saya
berat untuk pergi, sedih bukan main. Saya seperti akan meninggalkan seorang
bapak tua yang sudah sangat baik kepada saya. Mengenal beliau lima hari tapi seolah-olah
saya sudah mengenal beliau berpuluh-puluh tahun. Air mata saya mengalir, saya
kembali mendekati Mr. Ayyesh, saya memeluk beliau, saya merasakan pelukan hangat
seorang ayah tinggi besar dari Palestina, beliau tidak mengenal air mata.
Beliau hanya bilang:
“Inta regal, yabni, khalas, la
tabki! Ilalliqo fil aqsha, ilalliqo fil jannah! Kamu laki-laki, anakku,
sudah, tidak usah menangis! Sampai jumpa di Al-Aqsha, sampai jumpa di
surga!”
Beliau mendoakan saya banyak hal.
Saya pergi dengan air mata yang belum kering. Terima kasih atas pelajaran
berhargamu, Mr. Ayyesh. Ilalliqo fil aqsha! Ilalliqo fil jannah!
Taksi bergerak mengantarkan saya menuju
ujung selatan Jakarta untuk menghadapi hari esok yang masih menjadi rahasia.
***
Tanggal 23 Februari 2015 saya mulai
masuk kerja sebagai guru bahasa Arab di Sekolah Insan Cendekia Madani BSD, Serpong
- Tangerang Selatan (selanjutnya disingkat: ICM). Di sini saya bertemu
teman-teman lama yang pernah saya kenal sebelumnya, ada sahabat saya di LIPIA,
Romi, sekarang menjadi Pembina asrama. Ada juga relasi ketika mengajar bahasa
Arab di Depok, Ust. Zainal. Senang rasanya bisa bertemu mereka lagi.
bersama sahabat-sahabat baru di ICM |
Awalnya saya masih pulang pergi Jagakarsa-Serpong
untuk beberapa bulan, hingga tiba di bulan ketiga, dengan segala pertimbangan,
akhirnya saya mengundurkan diri dari boarding tempat saya mengajar di
Jaksel. Berat rasanya. Saya sudah tinggal di boarding sejak akhir 2013, dan
awal 2015 saya harus pindah ke Serpong. Perpisahan memang selalu saja berat.
Menurut saya, ada dua hal yang berbeda dalam hidup tapi sama-sama menyakitkan, yaitu penolakan dan perpisahan.
Dua-duanya menyakitkan. Dan semua orang pasti pernah merasakan. Ditolak masuk
kampus impian, ditolak calon mertua, ditolak tempat kerja, ditolak pembimbing
skripsi dan lain sebagainya. Setelah semuanya beres, kita akan berpisah,
berpamitan, mengucapkan selamat tinggal. Kelulusan kuliah adalah perpisahan. Pemecatan
karyawan adalah perpisahan. Perceraian adalah perpisahan. Kematian pun
perpisahan. Menyakitkan. Semuanya menyakitkan. Itu adalah sebuah keniscayaan semua manusia.
Tinggal persoalan terakhir adalah kepada siapa kita berpasrah ketika kita
ditolak atau dipisahkan?
Di tahun ini saya mendapat banyak
pengalaman baru dengan sahabat-sahabat baru. Petualangan baru. Mendaki gunung
Gede Pangrango, mengelilingi Hutan Mangrove, menjadi penyelenggara lomba
Tzorfas yang menguras emosi hingga harus ke kantor polisi. Banyak sekali hal
baru yang terjadi. Sahabat-sahabat terlamaku tetap kuingat dan kusapa. Kita
jalani langkah-langkah kocak ini. Ambil ilmunya, ambil hikmahnya, dan yang
pasti ambil nikmatnya.
Inilah akhir catatan dari almanak saya. Entah sampai
kapan kita bertahan dari angin pemisah. Entah sampai kapan kita kuat dari
segala penolakan. Penolakan dari mimpi-mimpi kita yang belum sempat terwujud.
Semoga kita mampu selalu bersinar. Iya, bersinar. Selalu.
(Tangerang Selatan, 04 Februari 2016)