Ada Jakarta di Libya

Penampakan Kota Tripoli, Libya dari atas gedung KBRI Tripoli (Foto: Pribadi)
Saat saya mulai menulis tulisan ini, posisi saya sedang berada di gedung KBRI Tripoli, Libya. Saya sedang mendapat tugas untuk dinas selama sebulan di Tripoli, karena KBRI Tripoli sekarang relokasi sementara di Djerba, Tunisia.


Libya, nama negara ini sudah familiar bagi saya. Sering saya dengar dari teman-teman yang kuliah di daerah Timur Tengah. Dan juga sering saya dengar dari orang yang salah dengar ketika saya menyebutkan nama kampus tempat saya kuliah, LIPIA. Wow Libya? Kaddafi dong? Bukan Libya, tapi LIPIA, Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab. Ooh…

Sering saya mendengar dari mereka yang menjadi saksi hidup masa-masa Libya di bawah kepemimpinan Kaddafi, teman-teman saya yang kuliah di Libya menyebutnya ‘Babeh’, bahwa segala sesuatu di Libya pada zaman Babeh serba murah meriah. Pendidikan gratis, harga kendaraan disubsidi, kesehatan gratis, keamanan terjamin, bahkan masyarakat pengangguran mendapat gaji sekitar 4000 Dinar Libya (LYD) perbulan bagi yang berkeluarga, which is LYD pada saat itu nilai tukarnya head to head sama Dollar Amrik, alias 1 LYD sama dengan 1 USD, ya paling ada angka desimal-desimalnya lah dikit. Bahkan pernah 1 LYD bernilai lebih dari 1 USD, gila gak tuh?!
Pintu masuk KBRI Tripoli
Libya memiliki wilayah yang luas dan memiliki sumber minyak yang melimpah. Posisi strategis di antara negara-negara yang miskin minyak seperti Tunisia, Mesir dan Negara-negara Afrika lain yang berada di sekitarnya. Libya juga berdekatan dengan Eropa yang membuatnya menjadi negara yang begitu rupawan. Strategis bukan main.

Masih menurut sumber dari diskusi-diskusi dengan teman-teman yang pernah mengenyam pendidikan di Libya dan Tunisia, Kaddafi lebih mementingkan pendidikan untuk masyarakat asing dibanding untuk masyarakatnya sendiri. Kasarnya, Kaddafi lebih suka perut masyarakatnya kenyang, tapi entah tidak suka atau tidak mengerti, Kaddafi telah membiarkan kepala masyarakatnya kelaparan. Tidak ada kebebasan berpendapat dan tidak ada kaderisasi pemerintahan secara luas. Kaddafi hanya ingin golongannya saja yang memimpin. Golongan lain tidak boleh. Cukup biarkan mereka kenyang. Mereka pasti diam. Kurang lebih begitu.
Kuliner Libya. Makanan di Libya sebenarnya lebih sesuai Lidah dibanding makanan Tunisia.

Seorang kawan berkebangsaan Libya, ia mengatakan bahwa pamannya pernah kuliah di AS sampai mendapatkan gelar doctor dan beberapa tahun lalu ketika kembali ke Libya, sering dipermasalahkan oleh pemerintah. Tidak dihormati dan tidak diambil manfaat sama sekali.  Seringkali urusan-urusannya dengan pemerintahan dipersulit. Maka tidak lama kemudian pamannya tersebut sampai sekarang lebih memilih tinggal di AS.
Suasana antrian pengambilan uang di Bank.
FYI, masyarakat Libya mengalami kesulitan mendapatkan uang tunai.

Pada tahun 2011, masyarakat menyebutnya revolusi 17 Februari. Entah siapa yang memulai. Entah siapa yang mendanai. Entah buah pikir siapa. Masyarakat Libya dari wilayah timur mulai berdemo. Mengungkapkan kekesalan dan protes kepada kadaffi. Dari wilayah timur Libya, masyarakat merangsek menuju barat. Ke pusat pemerintahan di Tripoli. Berdemonstrasi. Masyarakat terbagi dua, ada yang pro Kaddafi dan ada yang kontra. Kerusuhan tak terelakan. Perang saudara. Kekacauan ini menyebabkan Kaddafi berakhir. Berakhir dari dunia oleh tangan rakyatnya sendiri.

Pada hari ini, tahun 2016, Setelah Kaddafi tiada sejak beberapa tahun lalu, masalah Libya belum lagi tiada. Bahkan bertambah. Perang saudara tetap berlanjut. Milisi di mana-mana. Suara tembakan bisa terdengar setiap hari. Suara tembakan seolah-olah bunyi kembang api yang bisa diledakan kapan saja. tidak ada undang-undang yang berlaku. Permerintahan terbagi-bagi.

 Ketika saya menulis tulisan ini, beberapa kali terdengar bunyi tembakan senjata api. Entah mereka sedang apa. Seolah hiburan mereka adalah bukan konser music, tapi konser bunyi ledakan dan tembakan. Ketika bosan, tembakan senjata, biar tidak sepi. Ketika kesal, tembakan senjata, biar emosi terlampiaskan. Bunyi tembakan, tembakan, tembakan. Gilak!
Sisa-sisa RPG yang jatuh di sekitar gedung KBRI Tripoli

Ketika saya di mobil berjalan sekitar Tripoli bersama rekan-rekan kerja KBRI, salah satu staff KBRI Tripoli juga ada yang berkebangsaan Libya, saya selalu mengamati sekeliling. Lusuh, tak teratur, kacau. Di sini tidak ada macet parah seperti di Indonesia. Tapi entah, saya merasa disini suasananya begitu kering. Mungkin buah dari revolusi yang gagal. Buah dari revolusi yang tidak dibekali akal sehat. Buat dari revolusi titipan. Mungkin.

Di KBRI ada Staff Keamanan bernama Khalaf dan Athif, mereka berkebangsaan Mesir. Saya sering bilang pada mereka, Libya ini indah, langitnya biru tulus, airnya bening sejuk, tapi kenapa masyarakatnya bisa sebegini kacau. Tembakan. Tembakan. Tembakan. Tak peduli dengan orang di sekitar mereka. Alangkah sedihnya ibu yang telah melahirkan mereka. Mereka yang berkebangsaan Mesir tersebut cuma bilang sambil menyapukan kedua telapak tangannya satu sama lain seperti seperti membersihkan debu di tangan: “Libya kholaas, Mr. Akbar!” Libya sudah selesai.

Seorang mahasiswa pascasarjana asal Indonesia di Tunisia sempat menceritakan sebuah cerita anekdot ketika kami transit dan duduk di café Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Percakapan antara Kaddafi, Kepala Negara Libya dan Ben Ali, kepala Negara Tunisia yang sekarang sudah dikudeta juga.
“Kaddafi: ‘Ben, kenapa kamu rela menghabiskan anggaran begitu besar buat pendidikan warga Tunisia? Kenapa tidak dijadikan subsidi biaya hidup mereka saja seperti di Libya? Dan kalau masyaraktmu terdidik, mereka pasti akan melakukan kudeta terhadap pemerintahanmu yang otoriter itu.
Ben Ali: tidak apa-apa, Bro. saya lebih siap dikudeta oleh warga yang terdidik dibanding harus dikudeta oleh warga yang tidak terdidik.’
Benarlah, Ben Ali dikudeta oleh rakyatnya, tidak lama sebelum Kaddafi dikudeta oleh rakyatnya. Setelah kudeta Tunisia, pemulihan pemerintahan dilakukan dalam waktu cepat. Dan hari ini sudah bisa disaksikan Tunisia jauh lebih aman dan tenteram dibanding Libya.
Dan Libya, revolusi dilakukan sudah 5 tahun yang lalu, tapi tidak ada pemulihan sama sekali. Bahkan menjadi lebih kacau.
Itulah perbedaan kudeta orang terdidik dan tidak terdidik. “
Akhir kata, ketika saya merenungkan permasalahan yang terjadi di Libya ini, saya selalu merefleksikannya dengan negara saya sendiri, Indonesia.  Ketika ada segolongan masyarakat berteriak-teriak revolusi, adakah mereka sudah memikirkan apa yang akan mereka lakukan. Akibatnya apa. Termasuk golongan terdidik atau tidak terdidik kah mereka. Revolusi tidaklah murah. Ada harga yang harus dibayar mahal.



Gedung di Syaari' Jakarta (Jakarta Street), Tripoli.

Saya sangat bersyukur bisa menjadi warga negara Indonesia. Aman, tenteram, ada hukum, bebas bersuara, bebas beragama, bebas memilih pemimpin dan lain sebagainya. Perlu diakui masih banyak kekurangan, dan itulah tugas kita untuk memperbaiki bersama-sama. Sepertinya begitu.


Tripoli, 09 Desember 2016

Postingan populer dari blog ini

Contoh Job Interview Berbahasa Inggris dan Tips Cara Menjawabnya

Bagaimana bisa bekerja di Kedutaan Besar RI di Luar Negeri?

Nilai Anak Anda Merah, Kenapa Harus Marah?